Abstrak
Artikel ini membahas bagaimana para pendiri bangsa Indonesia memandang dasar negara sebagai fondasi utama dalam membentuk identitas dan arah kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui analisis pidato, perdebatan, dan dokumen-dokumen penting dalam proses perumusan dasar negara pada tahun 1945, artikel ini menyoroti perbedaan dan persamaan pandangan tokoh-tokoh seperti Soekarno, Mohammad Yamin, Soepomo, dan tokoh Islam lainnya. Ditemukan bahwa meskipun terdapat perbedaan pendekatan, terdapat kesamaan tujuan, yaitu menciptakan dasar negara yang mampu menyatukan keberagaman dan menjaga persatuan Indonesia.
Pendahuluan
Dasar negara merupakan landasan ideologis yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Di Indonesia, dasar negara dirumuskan dalam momen-momen penting menjelang kemerdekaan tahun 1945, ketika para tokoh bangsa duduk bersama dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk menentukan bentuk dan isi dasar negara. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis cara pandang para pendiri negara dalam merumuskan dasar negara yang kemudian dikenal sebagai Pancasila.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kepustakaan. Sumber data utama berasal dari dokumen resmi sidang BPUPKI, naskah pidato tokoh-tokoh pendiri bangsa, serta literatur sekunder dari buku dan jurnal yang relevan. Analisis dilakukan dengan menelaah isi dan konteks pernyataan para tokoh untuk memahami visi dan argumen yang mereka ajukan.
Pembahasan
1. Soekarno: Dasar Negara yang Berkebudayaan dan Menyatukan
Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, Soekarno mengusulkan lima sila yang menjadi cikal bakal Pancasila. Ia menekankan pentingnya nasionalisme, internasionalisme (perikemanusiaan), mufakat (demokrasi), kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Soekarno memandang dasar negara harus mampu menyatukan keberagaman etnis, agama, dan budaya Indonesia.
2. Mohammad Yamin: Dasar Historis dan Hukum
Yamin lebih menekankan aspek historis dan yuridis dalam dasar negara. Dalam sidang BPUPKI, ia mengusulkan lima asas, di antaranya peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat. Yamin memandang bahwa nilai-nilai dasar negara telah hidup dalam budaya bangsa Indonesia sejak masa lampau.
3. Soepomo: Negara Integralistik
Soepomo menekankan pentingnya membangun negara integralistik yang tidak memisahkan individu dan negara secara tajam. Ia menolak liberalisme Barat dan memperkenalkan konsep negara yang berdasarkan pada kekeluargaan, persatuan, dan nilai-nilai adat. Bagi Soepomo, dasar negara harus mengakar pada jiwa kolektif bangsa Indonesia.
4. Tokoh Islam: Pentingnya Syariat dalam Nilai Dasar Negara
Tokoh-tokoh Islam seperti K.H. Wahid Hasyim dan K.H. Agus Salim menginginkan dasar negara yang mencerminkan nilai-nilai Islam. Mereka memperjuangkan dimasukkannya Piagam Jakarta yang menyebutkan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Namun, demi menjaga persatuan nasional, kompromi pun dicapai dengan menyepakati Pancasila tanpa kalimat tersebut.
Simpulan
Cara pandang para pendiri bangsa terhadap dasar negara menunjukkan kekayaan pemikiran dan semangat kebersamaan dalam membentuk Indonesia yang majemuk. Perdebatan yang muncul bukanlah pertentangan yang memecah, melainkan refleksi atas semangat demokratis dan inklusif dalam merumuskan identitas kebangsaan. Pancasila sebagai hasil konsensus merupakan simbol dari kesepakatan luhur para pendiri bangsa dalam merangkul perbedaan untuk persatuan.
Daftar Pustaka
- Notosusanto, Nugroho. Naskah Proklamasi dan Pidato Soekarno. Jakarta: Balai Pustaka, 1983.
- Elson, R. E. The Idea of Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press, 2008.
- Anhar Gonggong. Pemikiran Politik Soekarno. Jakarta: Kompas, 2001.
- Hatta, Mohammad. Demokrasi Kita. Jakarta: LP3ES, 1981.
- Zainuddin, A. BPUPKI, PPKI, dan Dasar Negara. Jakarta: UI Press, 1996.